A. Migrasi
Internal
Migrasi internal
merupakan mobilitas penduduk dari satu wilayah ke wilayah lain dalam satu
negara. Migrasi internal yang terjadi di Indonesia terdiri dari transmigrasi
dan urbanisasi. Transmigrasi merupakan perpindahan penduduk dari satu pulau ke
pulau lainnya di Indonesia. Kebijakan migrasi internal di Indonesia sudah
dimulai sejak masa kolonil pemerintah Belanda sampe sekarang. Berikut diuraikan
berbagai kebijakan yang berhubungan dengan migrasi internal.
1.
Masa
Pemerintahan kolonial Belanda
a.
Fase
Percobaan (1905-1931).
Pada masa ini dalam setiap proyek, pemerintah Belanda
membangun kelompok inti yang terdiri atas 500 kepala keluarga.
Keluarga-keluarga tersebut mendapat jaminan selama satu tahun pertama. keluarga
dari keresidenan Kedu Jawa Tengah menuju daerah kolonisasi Gedongtataan di
Lampung. Lembaga yang mengurus kolonisasi adalah komisi inter departemen yaitu Centraal
Commissie voor Emmigratie en Kolonisatie van Inheemsen. Kontrolir H. G.
Heyting sebagai inisiator, memiliki pemikiran yang cukup maju. Agar penduduk
yang dipindahkan betah tinggal di daerah baru, dilakukan upaya mengkondisikan
daerah tujuan (Sumatera) seperti suasana di pulau Jawa
Setiap
keluarga juga diberi subsidi yang mendorong mereka mendatangkan sanak
keluarganya, sehingga memicu migrasi spontan (Levang, 2003 dalam Nugraha
Setiawan, 2010).
b.
Fase
Transmigrasi Kedua (1931-1941).
Tahun 1931
terjadi krisis pada sektor perkebunan besar yang mengakibatkan ribuan buruh
Jawa diberhentikan dari pekerjaannya. Tahun 1905-1941, pemerintah Belanda
secara keseluruhan memindahkan sekitar 200 ribu jiwa dari Jawa ke luar Jawa
(Nugraha Setiawan, 2010)
2.
Masa
Pendudukan Jepang
Sejak tahun 1942 susunan pemerintahan di Lampung
mengalami perubahan dengan perginya pejabat-pejabat kolonial Belanda dari Binnenlands
Bestuur. Ketika tentara Jepang masuk ke Indonesia, kegiatan transmigrasi
tetap dilaksanakan. Akan tetapi karena sibuk dengan peperangan, rupanya
penguasa Jepang tidak sempat melakukan pengadministrasian kegiatan transmigrasi
seperti halnya pada jaman pemerintah kolonial Belanda, sehingga sangat sedikit
dokumentasi mengenai transmigrasi yang bisa ditemukan. Diperkirakan selama
kekuasaan Jepang, penduduk pulau Jawa yang berhasil dipindahkan ke luar Jawa
melalui transmigrasi sekitar 2.000 orang. Tidak hanya di bidang transmigrasi,
kondisi kependudukan yang parah dimulai ketika tentara Jepang mengambil alih
kekuasaan dari pemerintahan Belanda. Pada periode ini kondisi perekonomian di
Indonesia sangat buruk. Beberapa komoditi seperti tekstil, alat-alat pertanian,
bahan pangan menghilang dari pasaran. Terjadi pula mobilisasi tenaga kerja
(romusha) untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan dan proyek-proyek
pertahanan Jepang, baik di dalam maupun di luar negeri (Nugraha Setiawan,
2010).
3.
Orde Lama
Tahun 1947 istilah kolonisasi diganti menjadi
transmigrasi dibawah Departemen Tenaga Kerja dan Sosial. Tahun 1948 urusan
transmigrasi dipindahkan dibawah Depertemen Dalam Negeri.
Bulan Desember 1950 merupakan awal mula pemberangkatan
transmigran di jaman kemerdekaan ke Sumatera Selatan. Pelaksananya ditangani
oleh Jawatan Transmigrasi yang berada di bawah Kementrian Sosial. Baru tahun
1960 Jawatan Transmigrasi menjadi departemen yang digabung dengan urusan
perkoperasian dengan nama Depertemen Transmigrasi dan Koperasi.
Pada masa ini, selain tujuan demografis, tujuan lainnya
tidak jelas. Namun Presiden Soekarno sendiri tidak fokus pada kelebihan
penduduk Jawa, tetapi hanya melihat adanya ketimpangan kepadatan penduduk pulau
Jawa dan luar Jawa. Akan tetapi di kemudian hari yaitu seperti tercantum pada
Undang-undang No. 20/1960 jelas terbaca, bahwa tujuan transmigrasi adalah untuk
meningkatkan keamanan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat, serta mempererat
rasa persatuan dan kesatuan bangsa.
Target pemindahan penduduk pada jaman orde lama dinilai
sangat ambisius dan tidak realistis, dimana sasaran “Rencana 35 Tahun Tambunan”
adalah mengurangi penduduk pulau Jawa agar mencapai angka 31 juta jiwa pada
tahun 1987 dari jumlah penduduk sebanyak 54 juta jiwa pada tahun 1952.
Pada jaman orde lama, ada pengkategorian transmigrasi,
sehingga dikenal istilah transmigrasi umum, transmigrasi keluarga, transmigrasi
biaya sendiri, dan transmigrasi spontan. Dalam sistem transmigrasi umum segala
keperluan transmigran, sejak pendaftaran sampai di lokasi menjadi tanggungan
pemerintah. Pemerintah juga menanggung biaya hidup selama delapan bulan
pertama, bibit tanaman, serta alat-alat pertanian. Transmigrasi keluarga
merupakan merupakan sistem transmigrasi beruntun, artinya jika ada keluarga
transmigran ingin mengajak keluarganya yang masih tinggal di pulau Jawa untuk
tinggal di daerah transmigrasi, maka transmigran lama harus menanggung biaya
hidup dan perumahan transmigran baru. Sistem ini tidak jalan, karena terlalu
memberatkan peserta transmigrasi, sehingga tidak dilaksanakan lagi sejak 1959.
Transmigrasi biaya sendiri, mengharuskan calon transmigran mendaftar di tempat
asal, kemudian berangkat ke lokasi dengan ongkos sendiri, setelah sampai di
lokasi mereka mendapatkan lahan dan subsidi seperti transmigran umum. Sedangkan
transmigrasi spontan selain menanggung sendiri ongkos ke lokasi, mereka pun
harus mengurus sendiri keberangkatannya. Di tempat tujuan baru mereka lapor
untuk mendapatkan lahan di daerah yang telah ditentukan (Nugraha Setiawan,
2010).
4. Orde Baru
Pada periode rencana pembangunan lima tahun (repelita)
ke-2 antara tahunn1974-1979, konsep transmigrasi diintegrasikan ke dalam
pembangunan nasional. Dalam kerangka pembangunan nasional tersebut,
transmigrasi diharapapkan dapat meningkatkan ketahanan nasional, baik di bidang
ekonomi, sosial, maupun budaya, serta meningkatkan produksi pangan dan komoditi
eksport. Produksi pertanian diharapkan dapat mendukung sektor industri sebagai
cita-cita pembangunan. Selain itu mulai tercetus pemikiran untuk mengembangkan
daerah tujuan semenarik mungkin, sehingga akan banyak penduduk yang tertarik
untuk pindah dari pulau Jawa dengan biaya mandiri tanpa tergantung pada
pemerintah.
Jika sebelumnya urusan transmigrasi sepenuhnya di bawah
Depertemen Dalam Negeri, maka pada tahun 1983 urusan transmigrasi sepenuhnya
dibawah Departemen Transmigrasi (Safri, 2009). Selanjutnya, pada repelita ke-3
(1979-1983) ada penekanan yang lebih mendalam terhadap kepentingan pertahanan
dan keamanan. Pelaksanaan transmigrasi spontan lebih didorong lagi dengan
mengembangkan kegiatan ekonomi di luar pulau Jawa guna menarik minat calon
transmigran. Target pemindahan transmigran sebanyak 250 ribu keluarga dapat
dicapai, bahkan terlampaui sebanyak dua kali lipat. Pemerintah berhasil
memberangkatkan sebanyak 500 ribu keluarga.
Pada repelita ke-4 target transmigran ditingkatkan lagi
menjadi 750 ribu keluarga atau 3,75 juta orang. Pada akhir bulan Oktober 1985
telah berhasil diberangkatkan sebanyak 350.606 keluarga atau 1.163.771 orang.
Pada periode ini diintroduksi konsep tentang pelestarian lingkungan, sehingga
transmigrasi juga diberi misi agar bisa memulihkan sumber daya alam yang sudah
tereksploitasi dan memelihara lingkungan hidup (Nugraha Setiawan, 2010).
5. Masa Reformasi
Tahun 2001 pada periode Kabinet Gotong Royong,
penyelenggara transmigrasi dilaksanakan oleh Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Depnakertrans). Penyelenggaraannya diarahkan pada penanganan
pengungsi sesuai kondisi politik saat itu. Pada era otonomi daerah pemerintah
pusat berperan sebagai regulator, fasilitator dan mediator. Transmigrasi
diposisikan pada program masyarakat bersama antara dua pemerintahan setempat,
dan bukan pemerintahan pusat. Transmigrasi dilaksanakan melalui mekanisme
kerjasama antar daerah otonom. Lalu pada Pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhiyono Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) diubah
menjadi kementrian tenaga kerja dan transmigrasi (Kemenaketrans).
Pada masa reformasi
visi transmigrasi ke depan adalah “mewujudkan komunitas baru yang merupakan
hasil integrasibharmonis antara penduduk setempat dan masyarakat pendatang,
yangbsejahtera serta dapat tumbuh dan berkembang secara mandiri danbberkelanjutan”.
Adapun misinya adalah “mengisi pembangunan di daerahbsesuai dengan kebutuhan
masyarakat setempat dan pendatang, serta sesuai dengan rencana
pembangunan daerah dan rencana pembangunan nasional” (http//:www.Repository.usu.ac.id…/Chapter
II. Diakses pada tanggal 07 November 2014).
B. Migrasi
Internasional
1. Orde Lama
Berdasarkan catatan sejarah tak banyak menuliskan tentang
kebijakan dan peraturan yang mengatur tentang pengerahan tenaga kerja melintasi
batas Negara/migrasi internasional pada zaman orde lama di bawah pemerintahan
presiden Soekarno hingga pada kejatuhannya.
2. Orde Baru
Di masa awal Orde Baru Kementrian Perburuhan diganti
menjadi Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi sampai berakhirnya
Kabinet Pembangunan III. Mulai Kabinet Pembangunan IV berubah menjadi
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, sementara Koperasi membentuk
kementriannya sendiri. Denpaker kemudian berupaya mengurangi pengiriman tenaga
kerja tidak terdidik dan sebaliknya berusaha meningkatkan pekerja yang
terdidik. Hal ini dikarena banyaknya TKI Indonesia yang mengalami pelecehan
seksual, kekerasan, penyiksaan, bahkan dipulangkan karena sampai meninggal
dunia.
Sejak tahun 1970, pemerintah mengeluarkan kebijakan Antar
Kerja Antar Daerah (AKAD) dan Antar Kerja Antar Negara (AKAD). Pengeluaran ini
kemudian dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1970.
Peraturan ini memberikan wewenang kepada pemerintah dan pihak swasta untuk
mengatur proses pengiriman TKI ke luar negeri. Setelah peraturan ini
dikeluarkan maka pengurusan tenaga kerja bisa dipegang oleh swasta selain
pemerintah.
Pada tahun 1988, didorong oleh kenyataan bahwa volume
migrasi internasional TKI semakin meningkat, Menteri Tenaga Kerja Cosmas
Batubara (1988-1993), mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PerMen) No. 5 yang
mengatur tentang pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Karena besarnya jumlah
pengiriman tenaga kerja ke Arab Saudi pada saat yang sama, dikeluarkanlah
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 1307 tentang Petunjuk teknis pengerahan TKI
ke Arab Saudi. Arab Saudi adalah negara pertama yang menjadi tujuan penempatan
buruh yang sebagian besar diantara mereka bekerja di sektor domestik. Hal ini
menggeser penempatan buruh migran yang sebelumnya bersifat adhoc (pasif)
menjadi kebijakan yang regulatif (pengaturan).
Pada dekade awal delapanpuluhan, pemenuhan kebutuhan
migran Indonesia di perkebunan dan proyek konstruksi di Malaysia tanpa campur
tangan negara. maka sejak tahun 1984 pola tersebut berubah. Melalui memorandum
of understanding (MoU) antara Indonesia dan Malaysia mengenai pengaturan aliran
migrasi dari Indonesia ke Malaysia yang ditandatangani di Medan pada tanggal 12
Mei 1984 (hingga kemudian dikenal sebagai Medan Agreement), berlangsung
penerapan pengaturan sekaligus pengawasan arus migrasi tenaga kerja dari
Indonesia ke Malaysia.
Kesepakatan ini ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri
Tenaga Kerja No. 184/Men/1984 tentang Pemberian Wewenang Menerbitkan Surat Rekomendasi.
Kepmen ini khusus untuk kantor wilayah Depnaker Provinsi Kalimantan Timur, Nusa
Tenggara Timur dan Sulawesi Selatan untuk menerbitkan Surat Rekomendasi bagi
Pengerah Tenaga Kerja atau bagi TKI yang akan bekerja di Malaysia. Kemudian
Menteri Tenaga Kerja menerbitkan landasan yang lebih kokoh bagi penempatan
buruh migran Indonesia ke Malaysia melalui Kepmenaker No.408/Men/1984 tentang
Pengerahan dan Pengiriman Tenaga Kerja di Malaysia. Di Kepmen ini (Pasal 11)
ditetapkan dua tempat pemberangkatan untuk penempatan buruh migran Indonesia ke
Malaysia, yaitu untuk pengiriman ke Malaysia Barat dan Nunukan untuk pengiriman
ke Malaysia Timur.
Pertumbuhan dan perkembangan perusahaan yang
menyelenggarakan bisnis penempatan buruh migran ke luar negeri dikontrol dengan
tegas. Depnaker melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.
129/Men/1983 tentang Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri
yang mengatur tentang ijin usaha, hak dan kewajiban perusahaan dan sanksi
pidana untuk yang melanggarnya.
Peningkatan pengiriman TKI ini adalah untuk mendukung
kebijakan Soeharto untuk mengatasi masalah pengangguran besar-besaran yang
terjadi pada masa Orde Baru. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) menjadi
acuan Repelita pada masa Orde Baru. Arah dan kebijakan Soeharto terhadap
pengiriman TKI adalah untuk menunjukkan usaha stabilitas politik dan ekonomi
Indonesia di mata dunia sekaligus pembangunan nasional (http//:www.Repository.usu.ac.id…/Chapter
II. Diakses pada tanggal 07 November 2014).
3. Era Reformasi
a.
Masa Pemerintahan BJ. Habibie (Mei 1998-Oktober
1999)
Pemerintahan
Habibie menginisiasi dua Keputusan Menteri Tenaga Kerja, pertama, No. 204 Tahun
1999 Tentang Penempatan Tenga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Kedua, skema
asuransi sosial yang dibangun untuk buruh migran sebagaimana yang tertera dalam
keputusan Menteri yaitu No.92 Tahun 1998. Namun tidak banyak yang berbicara
tentang perlindungan bagi buruh migran yang ada di dua Kepmenaker tersebut dan
hanya terpusat pada isu-isu yang berhubungan dengan aspek manajerial dan
operasional dengan hanya sedikit menyinggung perlindungan
(http//:www.Repository.usu.ac.id…/Chapter II. Diakses pada tanggal 07 November
2014).
b.
Masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid (Oktober 1999-
Juli 2001)
Untuk meningkatkan
perlindungan terhadap buruh perempuan, Gusdur mempertegas komitmen Departemen
Luar Negeri (Deplu) untuk memberi perlindungan dengan dikeluarkanya Keppres No.
109 Tahun 2001 jo Kepmenenlu No.053 Tahun 2001. Melalui Keppres ini dibentuklah
Direktorat baru di Deplu yaitu Direktorat Perlindungan WNI dan Badan Hukum
Indonesia (BHI) (http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/1/8/op2.htm, 07
November 2014
Ada tiga hal
konkret yang dilakukan pada masa pemeirnatahan Gusdur yaitu; pertama,
mendirikan SBSI (Serikat Buruh Seluruh Indonesia), serikat buruh independen era
orde baru. langkah ini ditempuh sebagai Gusdur juga melakukan pembelaan pada
aktivitas buruh ketika menjadi Presiden. Kedua, Gusdur mencabut
Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 Tentang ketenagakerjaan yang eskploitatif, anti
serikat dan tidak ada proteksi terhadap TKI. Ketiga, Gusdur juga membuat
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 150 Tahun 2000 Tentang pesangon untuk
antisipasi dampak pemberhentian kerja pada http://migrantcare.net. Diakses pada tanggal 07 November 2014
c.
Masa Pemerintahan Megawati Soekarno Putri (Juli
2001-Oktober 2004)
Pada tahun
2004, Megawati mengeluarkan Undang- undang No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan
dan Perlindungan Tenga Kerja Indonesa di Luar Negeri (PPTKILN).
Puncak
permasalahan TKI ilegal yang terjadi tahun 2004, membuat Megawati membentuk
Badan Nasional Penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).
Namun, kelahiran undang-undang tersebut hanya fokus pada penempatan dan tidak
banyak pasal yang mengatur tentang perlindungan TKI saat berada di luar negeri.
Tidak adanya standarisasi perlindungan bagi TKI yang bekerja di luar negeri
khususnya di Malaysia, dimana Malaysia adalah negara penempatan TKI terbesar
setelah Arab Saudi. Malaysia juga merupakan tempat dimana buruh perempuan
kebanyakan bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) yang sebenarnya membutuhkan perlindungan yang tegas (http//:www.Repository.usu.ac.id…/Chapter
II).
d.
Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (Oktober
2004- 2014)
Berikut adalah tabel tentang beragai kebijakan migrasi internasional pada
masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono:
TABEL 1
KEBIJAKAN
PERLINDUNGAN PEMERINTAHAN SBY
TERHADAP BURUH MIGRAN INDONESIA
No.
|
Nomor/Tahun dan Kebijakan
yang dikelurkan
|
1
|
Perpres No. 81 Tahun 2006 Tentang Pembentukan BNP2TKI
yang struktur operasional kerjanya melibatkan berbagai unsur instansi
pemerintah pusat terkait pelayanan buruh migran Indonesia, antara lain
Kemenlu, Kemenhub, Kementrans, Kepolisian, Kemensos, Kemendiknas, Kemenkes,
Imigrasi (Kemenhukam), Sesneg, dan lain lain
|
2
|
Inpres No. 6 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Reformasi
Sistem Penempatan dan Perlindungan TKILN. Inpres ini dibentuk atas instruksi
Presiden SBY pada jajaran kementrian sebagai output dari kesah buruh migran
Indonesia di Malaysia dan Qatar. Namun, pada tahap penyusunan kebijakan ini,
para organisasi buruh migrran dan buruh migran sendiri tidak diundang. Point
penting dari proses penempatan buruh migran melalui Inpres ini adalah
penyederhanaan dan desentralisasi pelayanan penempatan TKI dan peningkatan
kualitas dan kuantitas calon TKI. Sedangkan dalam hal perlindungan adalah
penguatan fungsi perwakilan RI di negara penempatan
|
3
|
Inpres RI No. 3 Tahun 2006 mengenai Paket Kebijakan
Iklim Investasi. Dimana pada salah satu point terdapat penghilangan Balai
Latihan Kerja (BLK) dari syarat berdirinya PPTKIS. Mekanisme ini sudah baik
jika mengingat banyak PPTKIS melakukan kebohonga bahwa calon TKI yang akan
diberangkatkan sudah dilatih di BLKnya. Namun dalam implementasinya,
eksistensi BLK yang masih ada saat ini harus menemui dualisme dengan adanya
KBBM (Kelompok belajar Berbasis Masyarakat)di daerah dengan dana dari
pemerintah. PPTKIS pun dapat merekrut calon TKI yang telah dilatih di KBBM
tersebut. Program KBBM akan menjadi efektif kerika ada koordinasi yang baik
dengan BLK yang masih digunakan oleh PPTKIS di beberapa titik di Jakarta.
|
4
|
Keppres No. 02 Tahun 2007 Tentang Pembentukan BNP2TKI
dengan Jumhur Hidayat sebagai pimpinannya. Pada faktanya, pembentukan BNP2TKI
ini semakin membuat susah para calon buruh migran Indonesia karena ada dua
pintu rekrutmen, yaitu Kemenkertrans RI dan BNP2TKI yang tidak diikuti dengan
pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas.
|
5
|
Peraturan Menteri Tenaga dan Transmigrasi Indonesia
Permenakertrans) No. 18 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Penempatan dan
perlindungan TKILN. Melalui Permenakertrans ini tahap purna penempatan tidak
dijabarkan dengan detail dalam Permenakertrans ini. Padahal, jika orientasi
negara bukan pada pengiriman buruh migran semata, melainkan peningkatan
lapangan kerja di dalam negeri, maka tahap purna penempatan akan dipandang
sebagai tahap yang perlu diperhatikan
|
6
|
Permenakertrans No. 14 Tahun 2010 yang membahas tentang
pemisahan tanggung jawab Kemnakertras RI dan sebagai regulator dan BNP2TKI
sebagai penanggung jawab operasional. Permen ini baru keluar setelah 3 tahun
lamanya (setelah berdirinya BNP2TKI di tahun 2007) buruh migran Indonesia
dirugikan
|
7
|
Permenakertrans No.7 Tahun 2010 Tentang Asuransi TKI.
PerMen ini merupakan revisi dari PerMen tentang asuransi sebelumnya di tahun
2008. Skema asuransi ini pasa faktanya belum diketahui oleh banyak buruh
migran Indonesia. Selain itu, premi asuransi sejumlah Rp. 400.000,- pun
dibebankan pada TKI tanpa persetujuan dari TKI dalam penyusunan kebijakan
yang partisipasif.
|
Sumber: diolah dari berbagai penelitian (Azmy2012dalam http//:www.Repository.usu.ac.id…/Chapter
II).
Untuk melihat
lebih jelas mengenai berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah dari
pemerintahan orde baru sampe pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhiyono,
dapat dilihat pada tabel berikut:
TABEL 2
KEBIJAKAN PEMERINTAH TERKAIT
PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN MIGRASI INTERNASIONAL TENAGA KERJA MULAI TAHUN 1966-2010
NO
|
Era Pemerintahan dan
Kebijakan yang dihasilkan
|
1
|
Soeharto (Orde Baru, 1966-1998)
a. Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 1970 Tentang
Pengerahan AKAD (Antar Kerja Antar Daerah) dan AKAN (Antar Kerja Antar
Negara)
b. Peraturan Menter (Permen) No. 5 Tahun 1988 Tentang
Pengiriman Tenga Kerja ke Luar Negeri
|
2
|
BJ. Habibie (reformasi, 1988-199)
a. Kepmenaker No. 204 Tahun 1999 Tentang Penempatan TKI
ke Luar Negeri
b. Kepmenaker No.92 Tahun 1998 Tentang Skema Asuransi
Sosial untuk Buruh Migran
|
3
|
Abdurrahman Wahid (Reformasi, 1999-2001)
a. Kepres No. 109 Tahun 2001 jo Kepemenlu yang
merupakan pencetus terbentuknya Direktorat Perlindungan WIBI dan HHI di
Kemenlu RI
b. B. Permenaker No. 150 Tahun 2000 Tentang Pesangon
untuk antisipasi dampak pemberhentian kerja pada buruh
|
4
|
Megawati Soekarno Puteri (reformasi, 2001-2004)
UU No. 39 Tahun
2004 Tentng Penempatan dan Perlindungan TKI luar Negeri. Pada masa inilah
Indonesia baru mempunyai UU tentang migrasi tenaga kerja sejak orde baru,
dimana pengiriman tenga kerja ke luar negeri telah menjadi kebijakan
pemerintah.
|
5
|
Pemerintahan SBY
a.
Perpres No. 81 Tahun 2006 Tentang Pembentukan BNP2TKI yang struktur
operasional kerjanya melibatkan berbagai unsur instansi pemerintah pusat
terkait pelayanan buruh migran Indonesia, antara lain Kemenlu, Kemenhub,
Kementrans, Kepolisian, Kemensos, Kemendiknas, Kemenkes, Imigrasi
(Kemenhukam), Sesneg, dan lain lain
b.
Inpres No. 6 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan
Perlindungan TKILN. Inpres ini dibentuk atas instruksi Presiden SBY pada
jajaran kementrian sebagai output dari kesah buruh migran Indonesia di
Malaysia dan Qatar. Namun, pada tahap penyusunan kebijakan ini, para
organisasi buruh migrran dan buruh migran sendiri tidak diundang. Point
penting dari proses penempatan buruh migran melalui Inpres ini adalah
penyederhanaan dan desentralisasi pelayanan penempatan TKI dan peningkatan
kualitas dan kuantitas calon TKI. Sedangkan dalam hal perlindungan adalah
penguatan fungsi perwakilan RI di negara penempatan
c.
Inpres RI No. 3 Tahun 2006 mengenai Paket Kebijakan Iklim Investasi.
Dimana pada salah satu point terdapat penghilangan Balai Latihan Kerja (BLK)
dari syarat berdirinya PPTKIS. Mekanisme ini sudah baik jika mengingat banyak
PPTKIS melakukan kebohonga bahwa calon TKI yang akan diberangkatkan sudah
dilatih di BLKnya. Namun dalam implementasinya, eksistensi BLK yang masih ada
saat ini harus menemui dualisme dengan adanya KBBM (Kelompok belajar Berbasis
Masyarakat)di daerah dengan dana dari pemerintah. PPTKIS pun dapat merekrut
calon TKI yang telah dilatih di KBBM tersebut. Program KBBM akan menjadi
efektif kerika ada koordinasi yang baik dengan BLK yang masih digunakan oleh
PPTKIS di beberapa titik di Jakarta.
d.
Keppres No. 02 Tahun 2007 Tentang Pembentukan BNP2TKI dengan Jumhur
Hidayat sebagai pimpinannya. Pada faktanya, pembentukan BNP2TKI ini semakin
membuat susah para calon buruh migran Indonesia karena ada dua pintu
rekrutmen, yaitu Kemenkertrans RI dan BNP2TKI yang tidak diikuti dengan
pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas.
e.
Peraturan Menteri Tenaga dan Transmigrasi Indonesia Permenakertrans) No.
18 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Penempatan dan perlindungan TKILN. Melalui
Permenakertrans ini tahap purna penempatan tidak dijabarkan dengan detail
dalam Permenakertrans ini. Padahal, jika orientasi negara bukan pada
pengiriman buruh migran semata, melainkan peningkatan lapangan kerja di dalam
negeri, maka tahap purna penempatan akan dipandang sebagai tahap yang perlu
diperhatikan
f.
Permenakertrans No. 14 Tahun 2010 yang membahas tentang pemisahan
tanggung jawab Kemnakertras RI dan sebagai regulator dan BNP2TKI sebagai
penanggung jawab operasional. Permen ini baru keluar setelah 3 tahun lamanya
(setelah berdirinya BNP2TKI di tahun 2007) buruh migran Indonesia dirugikan
g.
Permenakertrans No.7 Tahun 2010 Tentang Asuransi TKI. PerMen ini
merupakan revisi dari PerMen tentang asuransi sebelumnya di tahun 2008. Skema
asuransi ini pasa faktanya belum diketahui oleh banyak buruh migran
Indonesia. Selain itu, premi asuransi sejumlah Rp. 400.000,- pun dibebankan
pada TKI tanpa persetujuan dari TKI dalam penyusunan kebijakan yang
partisipasif.
|
|
Sumber: diolah dari berbagai penelitian (Azmy 2012 dalam http//:www.Repository.usu.ac.id…/Chapter II).
DAFTAR PUSTAKA
Setiawan, Nugraha 2010. Satu
Abad Transmigrasi di Indonesia: Perjalanan Sejarah Pelaksanaan, 1905-2005. Pusat Penelitian Kependudukan Unpad.
http//:www.Repository.usu.ac.id…/Chapter
II. Diakses pada tanggal 07 November 2014.
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/1/8/op2.htm. Diakses pada tanggal 07 November 2014
http://migrantcare.net. Diakses pada tanggal 07 November 2014
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
HapusBeginners Guide to Baccarat, the Ultimate Beginner's Guide
BalasHapusBeginners Guide to 바카라 사이트 Baccarat, the Ultimate Beginner's Guide to Baccarat, the Ultimate Beginner's หารายได้เสริม Guide to 메리트카지노 Baccarat, the Ultimate Beginner's Guide to Baccarat,