Langsung ke konten utama

KEBIJAKAN MIGRASI DI INDONESIA



A.    Migrasi Internal
Migrasi internal merupakan mobilitas penduduk dari satu wilayah ke wilayah lain dalam satu negara. Migrasi internal yang terjadi di Indonesia terdiri dari transmigrasi dan urbanisasi. Transmigrasi merupakan perpindahan penduduk dari satu pulau ke pulau lainnya di Indonesia. Kebijakan migrasi internal di Indonesia sudah dimulai sejak masa kolonil pemerintah Belanda sampe sekarang. Berikut diuraikan berbagai kebijakan yang berhubungan dengan migrasi internal.
1.   Masa Pemerintahan kolonial Belanda
a.       Fase Percobaan (1905-1931).
Pada masa ini dalam setiap proyek, pemerintah Belanda membangun kelompok inti yang terdiri atas 500 kepala keluarga. Keluarga-keluarga tersebut mendapat jaminan selama satu tahun pertama. keluarga dari keresidenan Kedu Jawa Tengah menuju daerah kolonisasi Gedongtataan di Lampung. Lembaga yang mengurus kolonisasi adalah komisi inter departemen yaitu Centraal Commissie voor Emmigratie en Kolonisatie van Inheemsen. Kontrolir H. G. Heyting sebagai inisiator, memiliki pemikiran yang cukup maju. Agar penduduk yang dipindahkan betah tinggal di daerah baru, dilakukan upaya mengkondisikan daerah tujuan (Sumatera) seperti suasana di pulau Jawa
Setiap keluarga juga diberi subsidi yang mendorong mereka mendatangkan sanak keluarganya, sehingga memicu migrasi spontan (Levang, 2003 dalam Nugraha Setiawan, 2010).
b.      Fase Transmigrasi Kedua (1931-1941).
Tahun 1931 terjadi krisis pada sektor perkebunan besar yang mengakibatkan ribuan buruh Jawa diberhentikan dari pekerjaannya. Tahun 1905-1941, pemerintah Belanda secara keseluruhan memindahkan sekitar 200 ribu jiwa dari Jawa ke luar Jawa (Nugraha Setiawan, 2010)
2.    Masa Pendudukan Jepang
Sejak tahun 1942 susunan pemerintahan di Lampung mengalami perubahan dengan perginya pejabat-pejabat kolonial Belanda dari Binnenlands Bestuur. Ketika tentara Jepang masuk ke Indonesia, kegiatan transmigrasi tetap dilaksanakan. Akan tetapi karena sibuk dengan peperangan, rupanya penguasa Jepang tidak sempat melakukan pengadministrasian kegiatan transmigrasi seperti halnya pada jaman pemerintah kolonial Belanda, sehingga sangat sedikit dokumentasi mengenai transmigrasi yang bisa ditemukan. Diperkirakan selama kekuasaan Jepang, penduduk pulau Jawa yang berhasil dipindahkan ke luar Jawa melalui transmigrasi sekitar 2.000 orang. Tidak hanya di bidang transmigrasi, kondisi kependudukan yang parah dimulai ketika tentara Jepang mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan Belanda. Pada periode ini kondisi perekonomian di Indonesia sangat buruk. Beberapa komoditi seperti tekstil, alat-alat pertanian, bahan pangan menghilang dari pasaran. Terjadi pula mobilisasi tenaga kerja (romusha) untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan dan proyek-proyek pertahanan Jepang, baik di dalam maupun di luar negeri (Nugraha Setiawan, 2010).
3.   Orde Lama
Tahun 1947 istilah kolonisasi diganti menjadi transmigrasi dibawah Departemen Tenaga Kerja dan Sosial. Tahun 1948 urusan transmigrasi dipindahkan dibawah Depertemen Dalam Negeri.
Bulan Desember 1950 merupakan awal mula pemberangkatan transmigran di jaman kemerdekaan ke Sumatera Selatan. Pelaksananya ditangani oleh Jawatan Transmigrasi yang berada di bawah Kementrian Sosial. Baru tahun 1960 Jawatan Transmigrasi menjadi departemen yang digabung dengan urusan perkoperasian dengan nama Depertemen Transmigrasi dan Koperasi.
Pada masa ini, selain tujuan demografis, tujuan lainnya tidak jelas. Namun Presiden Soekarno sendiri tidak fokus pada kelebihan penduduk Jawa, tetapi hanya melihat adanya ketimpangan kepadatan penduduk pulau Jawa dan luar Jawa. Akan tetapi di kemudian hari yaitu seperti tercantum pada Undang-undang No. 20/1960 jelas terbaca, bahwa tujuan transmigrasi adalah untuk meningkatkan keamanan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat, serta mempererat rasa persatuan dan kesatuan bangsa.
Target pemindahan penduduk pada jaman orde lama dinilai sangat ambisius dan tidak realistis, dimana sasaran “Rencana 35 Tahun Tambunan” adalah mengurangi penduduk pulau Jawa agar mencapai angka 31 juta jiwa pada tahun 1987 dari jumlah penduduk sebanyak 54 juta jiwa pada tahun 1952.
Pada jaman orde lama, ada pengkategorian transmigrasi, sehingga dikenal istilah transmigrasi umum, transmigrasi keluarga, transmigrasi biaya sendiri, dan transmigrasi spontan. Dalam sistem transmigrasi umum segala keperluan transmigran, sejak pendaftaran sampai di lokasi menjadi tanggungan pemerintah. Pemerintah juga menanggung biaya hidup selama delapan bulan pertama, bibit tanaman, serta alat-alat pertanian. Transmigrasi keluarga merupakan merupakan sistem transmigrasi beruntun, artinya jika ada keluarga transmigran ingin mengajak keluarganya yang masih tinggal di pulau Jawa untuk tinggal di daerah transmigrasi, maka transmigran lama harus menanggung biaya hidup dan perumahan transmigran baru. Sistem ini tidak jalan, karena terlalu memberatkan peserta transmigrasi, sehingga tidak dilaksanakan lagi sejak 1959. Transmigrasi biaya sendiri, mengharuskan calon transmigran mendaftar di tempat asal, kemudian berangkat ke lokasi dengan ongkos sendiri, setelah sampai di lokasi mereka mendapatkan lahan dan subsidi seperti transmigran umum. Sedangkan transmigrasi spontan selain menanggung sendiri ongkos ke lokasi, mereka pun harus mengurus sendiri keberangkatannya. Di tempat tujuan baru mereka lapor untuk mendapatkan lahan di daerah yang telah ditentukan (Nugraha Setiawan, 2010).
4.      Orde Baru
Pada periode rencana pembangunan lima tahun (repelita) ke-2 antara tahunn1974-1979, konsep transmigrasi diintegrasikan ke dalam pembangunan nasional. Dalam kerangka pembangunan nasional tersebut, transmigrasi diharapapkan dapat meningkatkan ketahanan nasional, baik di bidang ekonomi, sosial, maupun budaya, serta meningkatkan produksi pangan dan komoditi eksport. Produksi pertanian diharapkan dapat mendukung sektor industri sebagai cita-cita pembangunan. Selain itu mulai tercetus pemikiran untuk mengembangkan daerah tujuan semenarik mungkin, sehingga akan banyak penduduk yang tertarik untuk pindah dari pulau Jawa dengan biaya mandiri tanpa tergantung pada pemerintah.
Jika sebelumnya urusan transmigrasi sepenuhnya di bawah Depertemen Dalam Negeri, maka pada tahun 1983 urusan transmigrasi sepenuhnya dibawah Departemen Transmigrasi (Safri, 2009). Selanjutnya, pada repelita ke-3 (1979-1983) ada penekanan yang lebih mendalam terhadap kepentingan pertahanan dan keamanan. Pelaksanaan transmigrasi spontan lebih didorong lagi dengan mengembangkan kegiatan ekonomi di luar pulau Jawa guna menarik minat calon transmigran. Target pemindahan transmigran sebanyak 250 ribu keluarga dapat dicapai, bahkan terlampaui sebanyak dua kali lipat. Pemerintah berhasil memberangkatkan sebanyak 500 ribu keluarga.
Pada repelita ke-4 target transmigran ditingkatkan lagi menjadi 750 ribu keluarga atau 3,75 juta orang. Pada akhir bulan Oktober 1985 telah berhasil diberangkatkan sebanyak 350.606 keluarga atau 1.163.771 orang. Pada periode ini diintroduksi konsep tentang pelestarian lingkungan, sehingga transmigrasi juga diberi misi agar bisa memulihkan sumber daya alam yang sudah tereksploitasi dan memelihara lingkungan hidup (Nugraha Setiawan, 2010).
5.      Masa Reformasi
Tahun 2001 pada periode Kabinet Gotong Royong, penyelenggara transmigrasi dilaksanakan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans). Penyelenggaraannya diarahkan pada penanganan pengungsi sesuai kondisi politik saat itu. Pada era otonomi daerah pemerintah pusat berperan sebagai regulator, fasilitator dan mediator. Transmigrasi diposisikan pada program masyarakat bersama antara dua pemerintahan setempat, dan bukan pemerintahan pusat. Transmigrasi dilaksanakan melalui mekanisme kerjasama antar daerah otonom. Lalu pada Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhiyono Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) diubah menjadi kementrian tenaga kerja dan transmigrasi (Kemenaketrans).
Pada masa reformasi visi transmigrasi ke depan adalah “mewujudkan komunitas baru yang merupakan hasil integrasibharmonis antara penduduk setempat dan masyarakat pendatang, yangbsejahtera serta dapat tumbuh dan berkembang secara mandiri danbberkelanjutan”. Adapun misinya adalah “mengisi pembangunan di daerahbsesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat dan pendatang, serta sesuai dengan rencana pembangunan daerah dan rencana pembangunan nasional” (http//:www.Repository.usu.ac.id…/Chapter II. Diakses pada tanggal 07 November 2014).
B.     Migrasi Internasional
1.      Orde Lama
Berdasarkan catatan sejarah tak banyak menuliskan tentang kebijakan dan peraturan yang mengatur tentang pengerahan tenaga kerja melintasi batas Negara/migrasi internasional pada zaman orde lama di bawah pemerintahan presiden Soekarno hingga pada kejatuhannya.
2.      Orde Baru
Di masa awal Orde Baru Kementrian Perburuhan diganti menjadi Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi sampai berakhirnya Kabinet Pembangunan III. Mulai Kabinet Pembangunan IV berubah menjadi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, sementara Koperasi membentuk kementriannya sendiri. Denpaker kemudian berupaya mengurangi pengiriman tenaga kerja tidak terdidik dan sebaliknya berusaha meningkatkan pekerja yang terdidik. Hal ini dikarena banyaknya TKI Indonesia yang mengalami pelecehan seksual, kekerasan, penyiksaan, bahkan dipulangkan karena sampai meninggal dunia.
Sejak tahun 1970, pemerintah mengeluarkan kebijakan Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) dan Antar Kerja Antar Negara (AKAD). Pengeluaran ini kemudian dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1970. Peraturan ini memberikan wewenang kepada pemerintah dan pihak swasta untuk mengatur proses pengiriman TKI ke luar negeri. Setelah peraturan ini dikeluarkan maka pengurusan tenaga kerja bisa dipegang oleh swasta selain pemerintah.
Pada tahun 1988, didorong oleh kenyataan bahwa volume migrasi internasional TKI semakin meningkat, Menteri Tenaga Kerja Cosmas Batubara (1988-1993), mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PerMen) No. 5 yang mengatur tentang pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Karena besarnya jumlah pengiriman tenaga kerja ke Arab Saudi pada saat yang sama, dikeluarkanlah Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 1307 tentang Petunjuk teknis pengerahan TKI ke Arab Saudi. Arab Saudi adalah negara pertama yang menjadi tujuan penempatan buruh yang sebagian besar diantara mereka bekerja di sektor domestik. Hal ini menggeser penempatan buruh migran yang sebelumnya bersifat adhoc (pasif) menjadi kebijakan yang regulatif (pengaturan).
Pada dekade awal delapanpuluhan, pemenuhan kebutuhan migran Indonesia di perkebunan dan proyek konstruksi di Malaysia tanpa campur tangan negara. maka sejak tahun 1984 pola tersebut berubah. Melalui memorandum of understanding (MoU) antara Indonesia dan Malaysia mengenai pengaturan aliran migrasi dari Indonesia ke Malaysia yang ditandatangani di Medan pada tanggal 12 Mei 1984 (hingga kemudian dikenal sebagai Medan Agreement), berlangsung penerapan pengaturan sekaligus pengawasan arus migrasi tenaga kerja dari Indonesia ke Malaysia.
Kesepakatan ini ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 184/Men/1984 tentang Pemberian Wewenang Menerbitkan Surat Rekomendasi. Kepmen ini khusus untuk kantor wilayah Depnaker Provinsi Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Selatan untuk menerbitkan Surat Rekomendasi bagi Pengerah Tenaga Kerja atau bagi TKI yang akan bekerja di Malaysia. Kemudian Menteri Tenaga Kerja menerbitkan landasan yang lebih kokoh bagi penempatan buruh migran Indonesia ke Malaysia melalui Kepmenaker No.408/Men/1984 tentang Pengerahan dan Pengiriman Tenaga Kerja di Malaysia. Di Kepmen ini (Pasal 11) ditetapkan dua tempat pemberangkatan untuk penempatan buruh migran Indonesia ke Malaysia, yaitu untuk pengiriman ke Malaysia Barat dan Nunukan untuk pengiriman ke Malaysia Timur.
Pertumbuhan dan perkembangan perusahaan yang menyelenggarakan bisnis penempatan buruh migran ke luar negeri dikontrol dengan tegas. Depnaker melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 129/Men/1983 tentang Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri yang mengatur tentang ijin usaha, hak dan kewajiban perusahaan dan sanksi pidana untuk yang melanggarnya.
Peningkatan pengiriman TKI ini adalah untuk mendukung kebijakan Soeharto untuk mengatasi masalah pengangguran besar-besaran yang terjadi pada masa Orde Baru. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) menjadi acuan Repelita pada masa Orde Baru. Arah dan kebijakan Soeharto terhadap pengiriman TKI adalah untuk menunjukkan usaha stabilitas politik dan ekonomi Indonesia di mata dunia sekaligus pembangunan nasional (http//:www.Repository.usu.ac.id…/Chapter II. Diakses pada tanggal 07 November 2014).
3.      Era Reformasi
a.       Masa Pemerintahan BJ. Habibie (Mei 1998-Oktober 1999)
Pemerintahan Habibie menginisiasi dua Keputusan Menteri Tenaga Kerja, pertama, No. 204 Tahun 1999 Tentang Penempatan Tenga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Kedua, skema asuransi sosial yang dibangun untuk buruh migran sebagaimana yang tertera dalam keputusan Menteri yaitu No.92 Tahun 1998. Namun tidak banyak yang berbicara tentang perlindungan bagi buruh migran yang ada di dua Kepmenaker tersebut dan hanya terpusat pada isu-isu yang berhubungan dengan aspek manajerial dan operasional dengan hanya sedikit menyinggung perlindungan (http//:www.Repository.usu.ac.id…/Chapter II. Diakses pada tanggal 07 November 2014).
b.      Masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid (Oktober 1999- Juli 2001)
Untuk meningkatkan perlindungan terhadap buruh perempuan, Gusdur mempertegas komitmen Departemen Luar Negeri (Deplu) untuk memberi perlindungan dengan dikeluarkanya Keppres No. 109 Tahun 2001 jo Kepmenenlu No.053 Tahun 2001. Melalui Keppres ini dibentuklah Direktorat baru di Deplu yaitu Direktorat Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (BHI) (http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/1/8/op2.htm, 07 November 2014
Ada tiga hal konkret yang dilakukan pada masa pemeirnatahan Gusdur yaitu; pertama, mendirikan SBSI (Serikat Buruh Seluruh Indonesia), serikat buruh independen era orde baru. langkah ini ditempuh sebagai Gusdur juga melakukan pembelaan pada aktivitas buruh ketika menjadi Presiden. Kedua, Gusdur mencabut Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 Tentang ketenagakerjaan yang eskploitatif, anti serikat dan tidak ada proteksi terhadap TKI. Ketiga, Gusdur juga membuat Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 150 Tahun 2000 Tentang pesangon untuk antisipasi dampak pemberhentian kerja pada http://migrantcare.net. Diakses pada tanggal 07 November 2014
c.       Masa Pemerintahan Megawati Soekarno Putri (Juli 2001-Oktober 2004)
Pada tahun 2004, Megawati mengeluarkan Undang- undang No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenga Kerja Indonesa di Luar Negeri (PPTKILN).
Puncak permasalahan TKI ilegal yang terjadi tahun 2004, membuat Megawati membentuk Badan Nasional Penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Namun, kelahiran undang-undang tersebut hanya fokus pada penempatan dan tidak banyak pasal yang mengatur tentang perlindungan TKI saat berada di luar negeri. Tidak adanya standarisasi perlindungan bagi TKI yang bekerja di luar negeri khususnya di Malaysia, dimana Malaysia adalah negara penempatan TKI terbesar setelah Arab Saudi. Malaysia juga merupakan tempat dimana buruh perempuan kebanyakan bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) yang sebenarnya membutuhkan perlindungan yang tegas (http//:www.Repository.usu.ac.id…/Chapter II).
d.      Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (Oktober 2004- 2014)
Berikut adalah tabel tentang beragai kebijakan migrasi internasional pada masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono:
TABEL 1
KEBIJAKAN PERLINDUNGAN PEMERINTAHAN SBY
TERHADAP BURUH MIGRAN INDONESIA
No.
Nomor/Tahun dan Kebijakan yang dikelurkan
1
Perpres No. 81 Tahun 2006 Tentang Pembentukan BNP2TKI yang struktur operasional kerjanya melibatkan berbagai unsur instansi pemerintah pusat terkait pelayanan buruh migran Indonesia, antara lain Kemenlu, Kemenhub, Kementrans, Kepolisian, Kemensos, Kemendiknas, Kemenkes, Imigrasi (Kemenhukam), Sesneg, dan lain lain
2
Inpres No. 6 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan TKILN. Inpres ini dibentuk atas instruksi Presiden SBY pada jajaran kementrian sebagai output dari kesah buruh migran Indonesia di Malaysia dan Qatar. Namun, pada tahap penyusunan kebijakan ini, para organisasi buruh migrran dan buruh migran sendiri tidak diundang. Point penting dari proses penempatan buruh migran melalui Inpres ini adalah penyederhanaan dan desentralisasi pelayanan penempatan TKI dan peningkatan kualitas dan kuantitas calon TKI. Sedangkan dalam hal perlindungan adalah penguatan fungsi perwakilan RI di negara penempatan
3
Inpres RI No. 3 Tahun 2006 mengenai Paket Kebijakan Iklim Investasi. Dimana pada salah satu point terdapat penghilangan Balai Latihan Kerja (BLK) dari syarat berdirinya PPTKIS. Mekanisme ini sudah baik jika mengingat banyak PPTKIS melakukan kebohonga bahwa calon TKI yang akan diberangkatkan sudah dilatih di BLKnya. Namun dalam implementasinya, eksistensi BLK yang masih ada saat ini harus menemui dualisme dengan adanya KBBM (Kelompok belajar Berbasis Masyarakat)di daerah dengan dana dari pemerintah. PPTKIS pun dapat merekrut calon TKI yang telah dilatih di KBBM tersebut. Program KBBM akan menjadi efektif kerika ada koordinasi yang baik dengan BLK yang masih digunakan oleh PPTKIS di beberapa titik di Jakarta.
4
Keppres No. 02 Tahun 2007 Tentang Pembentukan BNP2TKI dengan Jumhur Hidayat sebagai pimpinannya. Pada faktanya, pembentukan BNP2TKI ini semakin membuat susah para calon buruh migran Indonesia karena ada dua pintu rekrutmen, yaitu Kemenkertrans RI dan BNP2TKI yang tidak diikuti dengan pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas.
5
Peraturan Menteri Tenaga dan Transmigrasi Indonesia Permenakertrans) No. 18 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Penempatan dan perlindungan TKILN. Melalui Permenakertrans ini tahap purna penempatan tidak dijabarkan dengan detail dalam Permenakertrans ini. Padahal, jika orientasi negara bukan pada pengiriman buruh migran semata, melainkan peningkatan lapangan kerja di dalam negeri, maka tahap purna penempatan akan dipandang sebagai tahap yang perlu diperhatikan
6
Permenakertrans No. 14 Tahun 2010 yang membahas tentang pemisahan tanggung jawab Kemnakertras RI dan sebagai regulator dan BNP2TKI sebagai penanggung jawab operasional. Permen ini baru keluar setelah 3 tahun lamanya (setelah berdirinya BNP2TKI di tahun 2007) buruh migran Indonesia dirugikan
7
Permenakertrans No.7 Tahun 2010 Tentang Asuransi TKI. PerMen ini merupakan revisi dari PerMen tentang asuransi sebelumnya di tahun 2008. Skema asuransi ini pasa faktanya belum diketahui oleh banyak buruh migran Indonesia. Selain itu, premi asuransi sejumlah Rp. 400.000,- pun dibebankan pada TKI tanpa persetujuan dari TKI dalam penyusunan kebijakan yang partisipasif.
Sumber: diolah dari berbagai penelitian (Azmy2012dalam http//:www.Repository.usu.ac.id…/Chapter II).
Untuk melihat lebih jelas mengenai berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah dari pemerintahan orde baru sampe pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhiyono, dapat dilihat pada tabel berikut:
TABEL 2
KEBIJAKAN PEMERINTAH TERKAIT PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN MIGRASI INTERNASIONAL TENAGA KERJA MULAI TAHUN 1966-2010
NO
Era Pemerintahan dan Kebijakan yang dihasilkan
1
Soeharto (Orde Baru, 1966-1998)
a. Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 1970 Tentang Pengerahan AKAD (Antar Kerja Antar Daerah) dan AKAN (Antar Kerja Antar Negara)
b. Peraturan Menter (Permen) No. 5 Tahun 1988 Tentang Pengiriman Tenga Kerja ke Luar Negeri
2
BJ. Habibie (reformasi, 1988-199)
a. Kepmenaker No. 204 Tahun 1999 Tentang Penempatan TKI ke Luar Negeri
b. Kepmenaker No.92 Tahun 1998 Tentang Skema Asuransi Sosial untuk Buruh Migran
3
Abdurrahman Wahid (Reformasi, 1999-2001)
a. Kepres No. 109 Tahun 2001 jo Kepemenlu yang merupakan pencetus terbentuknya Direktorat Perlindungan WIBI dan HHI di Kemenlu RI
b. B. Permenaker No. 150 Tahun 2000 Tentang Pesangon untuk antisipasi dampak pemberhentian kerja pada buruh
4
Megawati Soekarno Puteri (reformasi, 2001-2004)
 UU No. 39 Tahun 2004 Tentng Penempatan dan Perlindungan TKI luar Negeri. Pada masa inilah Indonesia baru mempunyai UU tentang migrasi tenaga kerja sejak orde baru, dimana pengiriman tenga kerja ke luar negeri telah menjadi kebijakan pemerintah.
5
Pemerintahan SBY
a.       Perpres No. 81 Tahun 2006 Tentang Pembentukan BNP2TKI yang struktur operasional kerjanya melibatkan berbagai unsur instansi pemerintah pusat terkait pelayanan buruh migran Indonesia, antara lain Kemenlu, Kemenhub, Kementrans, Kepolisian, Kemensos, Kemendiknas, Kemenkes, Imigrasi (Kemenhukam), Sesneg, dan lain lain
b.      Inpres No. 6 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan TKILN. Inpres ini dibentuk atas instruksi Presiden SBY pada jajaran kementrian sebagai output dari kesah buruh migran Indonesia di Malaysia dan Qatar. Namun, pada tahap penyusunan kebijakan ini, para organisasi buruh migrran dan buruh migran sendiri tidak diundang. Point penting dari proses penempatan buruh migran melalui Inpres ini adalah penyederhanaan dan desentralisasi pelayanan penempatan TKI dan peningkatan kualitas dan kuantitas calon TKI. Sedangkan dalam hal perlindungan adalah penguatan fungsi perwakilan RI di negara penempatan
c.       Inpres RI No. 3 Tahun 2006 mengenai Paket Kebijakan Iklim Investasi. Dimana pada salah satu point terdapat penghilangan Balai Latihan Kerja (BLK) dari syarat berdirinya PPTKIS. Mekanisme ini sudah baik jika mengingat banyak PPTKIS melakukan kebohonga bahwa calon TKI yang akan diberangkatkan sudah dilatih di BLKnya. Namun dalam implementasinya, eksistensi BLK yang masih ada saat ini harus menemui dualisme dengan adanya KBBM (Kelompok belajar Berbasis Masyarakat)di daerah dengan dana dari pemerintah. PPTKIS pun dapat merekrut calon TKI yang telah dilatih di KBBM tersebut. Program KBBM akan menjadi efektif kerika ada koordinasi yang baik dengan BLK yang masih digunakan oleh PPTKIS di beberapa titik di Jakarta.
d.      Keppres No. 02 Tahun 2007 Tentang Pembentukan BNP2TKI dengan Jumhur Hidayat sebagai pimpinannya. Pada faktanya, pembentukan BNP2TKI ini semakin membuat susah para calon buruh migran Indonesia karena ada dua pintu rekrutmen, yaitu Kemenkertrans RI dan BNP2TKI yang tidak diikuti dengan pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas.
e.       Peraturan Menteri Tenaga dan Transmigrasi Indonesia Permenakertrans) No. 18 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Penempatan dan perlindungan TKILN. Melalui Permenakertrans ini tahap purna penempatan tidak dijabarkan dengan detail dalam Permenakertrans ini. Padahal, jika orientasi negara bukan pada pengiriman buruh migran semata, melainkan peningkatan lapangan kerja di dalam negeri, maka tahap purna penempatan akan dipandang sebagai tahap yang perlu diperhatikan
f.       Permenakertrans No. 14 Tahun 2010 yang membahas tentang pemisahan tanggung jawab Kemnakertras RI dan sebagai regulator dan BNP2TKI sebagai penanggung jawab operasional. Permen ini baru keluar setelah 3 tahun lamanya (setelah berdirinya BNP2TKI di tahun 2007) buruh migran Indonesia dirugikan
g.      Permenakertrans No.7 Tahun 2010 Tentang Asuransi TKI. PerMen ini merupakan revisi dari PerMen tentang asuransi sebelumnya di tahun 2008. Skema asuransi ini pasa faktanya belum diketahui oleh banyak buruh migran Indonesia. Selain itu, premi asuransi sejumlah Rp. 400.000,- pun dibebankan pada TKI tanpa persetujuan dari TKI dalam penyusunan kebijakan yang partisipasif.

Sumber: diolah dari berbagai penelitian (Azmy 2012 dalam http//:www.Repository.usu.ac.id…/Chapter II).





DAFTAR PUSTAKA

Setiawan, Nugraha 2010. Satu Abad Transmigrasi di Indonesia: Perjalanan Sejarah Pelaksanaan, 1905-2005. Pusat Penelitian Kependudukan Unpad.
http//:www.Repository.usu.ac.id…/Chapter II. Diakses pada tanggal 07 November 2014.
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/1/8/op2.htm. Diakses pada tanggal 07 November 2014
http://migrantcare.net. Diakses pada tanggal 07 November 2014






Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

      Hapus
  2. Beginners Guide to Baccarat, the Ultimate Beginner's Guide
    Beginners Guide to 바카라 사이트 Baccarat, the Ultimate Beginner's Guide to Baccarat, the Ultimate Beginner's หารายได้เสริม Guide to 메리트카지노 Baccarat, the Ultimate Beginner's Guide to Baccarat,

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

DEMOGRAPHIC WINDOW OPPORTUNITIES: Sebuah Peluang Dan Tantangan

Jumlah penduduk duduk dunia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan termasuk juga di Indonesia. Penyebab pertambahan penduduk yang utama karena adanya kelahiran ( Fertilitas ). Beberapa komponen yang mempengaruhi fertilitas antara lain latar belakang pendidikan, pekerjaan, pendapatan, umur kawin pertama, persepsi nilai anak, kematian bayi/balita dan unmet need (Yuniarti, dkk. 2011) Mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Kepala Bappenas Armida Alisjahbana mengatakan, meningkatnya jumlah penduduk pada tahun 2035 tersebut menyebabkan Indonesia menjadi negara kelima dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia. Meski begitu, peningkatan jumlah penduduk Indonesia tersebut dibarengi dengan meningkatnya penduduk berusia produktif (usia 15 tahun sampai 65 tahun). Menurut Armida, Indonesia telah memasuki bonus demografi (rasio ketergantungan terhadap penduduk tak produktif) sejak tahun 2012, yakni 49,6 persen. Atas dasar itu, penduduk Indonesia yang produktif lebih